gadget

Rabu, 23 Juni 2010

Paket Teknologi Rekomendasi Ayam potong Lokal (Ayam Hibrida

OLEH

Muryanto, D. Pramono, T. Prasetyo, S. Prawirodigdo, H.E. Mumpuni, E.
Kushartanti Dan I. Musawati
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ayam Potong Lokal (APL) atau sering disebut dengan ayam hibrida lokal
adalah ayam hasil persilangan antara pejantan ayam kampung dengan ayam ras
petelur betina. Ayam ini diproduksi sebagai ayam potong (lokal), dimaksudkan
untuk memenuhi permintaan masyarakat yang tinggi akan daging unggas
khususnya daging ayam kampung. Produk ayam kampung baik berupa telur dan
daging sangat disukai oleh masyarakat, namun ayam kampung sendiri tidak
dapat diproduksi dalam jumlah besar, karena laju reproduksi dan
pertumbuhannya lambat.
Produksi telur ayam kampung pada pemeliharaan tradisional hanya 45
butir/ekor/tahun atau setara dengan 12,5% per hari (Siregar dan Sabrani 1972).
Dengan meningkatkan sistem pemeliharaan menjadi semi intensif pada kandang
umbaran terbatas, produksi telurnya 18,4% hen day (Muryanto et al. 1995) dan
dengan pemeliharaan intensif pada kandang batere produksi telurnya 34,8% hen
day (Muryanto et al. 1994), sedang pada ayam ras petelur produksi telurnya 60 –
80%. Muryanto et al. (1993) melaporkan bahwa untuk memproduksi 38 butir
telur dibutuhkan waktu 210 hari, dengan rincian 38 hari untuk berproduksi, 68
hari mengeram dan 104 hari istirahat bertelur.
Laju pertumbuhan ayam kampung yang rendah ditunjukkan dengan
laporan bahwa untuk mendapatkan bobot badan 900 sampai 1120 g dibutuhkan
waktu pemeliharaan selama 90 hari dengan pemberian pakan yang mengandung
protein kasar 14 % dan energi metabolis 2800 kkal/kg (Muryanto et al. 1999),
sedang pada ayam peaging hanya dibutuhkan waktu 35 - 45 hari untuk
mencapai bobot 1500 g.
Rendahnya laju pertumbuhan dan reproduksi pada ayam kampung
menyebabkan rendahnya peningkatan populasi. Bahkan sejak tahun 2004,
Indonesia dinyatakan terserang wabah penyakit flu burung, sehaningga dapat
dipastikan bahwa populasi ayam kampung menurun. Upaya penanggulangan
2
penyakit ini telah dilakukan dengan diterbitkannya diterbitkan Keputusan Direktur
Jenderal Bina Prosuksi Peternakan Nomor 17 tahun 2004 tentang Pedoman
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular
Influensa Pada Unggas (Avian Influenza). Pedoman tersebut dikenal dengan 9
strategi penanggulangan penyakit flu burung yaitu : (1) peningkatan biosecurity,
(2) vaksinasi, (3) vepopulasi (pemusnahan terbatas) di daerah tertular, (4)
pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas dan limbah peternakan unggas
(5) surveilans dan penelusuran (tracing back), (6) sengisian kandang kembali
(restocking), (7) stamping-out (pemusnahan menyeluruh) di daerah tertular
baru, (8) peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) dan (9)
monitoring dan evaluasi. Namun demikian seiring dengan upaya tersebut,
dilaporkan oleh media masa bahwa sampai saat ini (tahun 2008) di beberapa
kabupaten baik di Jawa Tengah maupun di propinsi lain di Indonesia masih
sering terjadi serangan penyakit flu burung. Sehingga dapat diduga bahwa
populasi ayam kampung cenderung menurun.
Kondisi yang demikian menimbulkan suatu pemikiran “bagaimana cara
memproduksi ayam yang dagingnya mirip dengan daging ayam kampung dan
dapat diproduksi dalam jumlah besar”. Salah satu upayanya adalah
menyilangkan ayam kampung (lokal) jantan dengan ayam ras petelur betina dan
hasilnya disebut dengan Ayam Potong Lokal.
Upaya ini mempunyai manfaat ganda yaitu dapat memproduksi daging
dalam jumlah yang besar sekaligus melestarikan ayam kampung. Produksi yang
besar dapat dicapai karena induk yang digunakan adalah ayam ras petelur yang
mempunyai produksi telur tinggi yaitu 80%, sedangkan pelestarian ayam
kampung terjadi karena hasil persilangannya merupakan ayam potong dan ayam
kampung betinanya dapat berkembangbiak untuk menghasilkan ayam kampung
murni. Pemanfaatan sekaligus pelestarian ayam ini sesuai dengan kebijakan
Komisi Nasional Plasma Nutfah Indonesia (Utoyo, 2002).
Upaya ini juga mendukung program pemulihan kembali populasi ayam
akibat wabah flu burung seperti tercantum dalam sembilan langkah penanganan
flu burung pada point enam yaitu “pengisian kandang kembali (restocking)”,
artinya pengembangan ayam ini dapat dijadikan salah satu alternatif untuk
mengisi kandang kembali setelah tindakan depopulasi atau stamping-out.
3
1.2. Sumber Teknologi
Ayam Potong Lokal diproduksi dengan menerapkan beberapa teknologi
mulai dari inseminasi buatan, penetasan, pakan, manajemen pemeliharaan, dan
kelembagaan.
Tabel 1. Sumber Teknologi Ayam Potong Lokal
No Teknologi Sumber Teknologi
1 Inseminasi Buatan (IB) Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor.
2 Penetasan BPTP Jawa Tengah
3 Manajemen pembesaran ayam BPTP Jawa Tengah
4 Pakan BPTP Jawa Tengah
5 Histologi daging NW. Desroier (1977); A. Trautmann
and J. Fiebiger (1957).
6 Perkandangan BPTP Jawa Tengah
7 Kelembagaan BPTP Jawa Tengah
1.3. Tujuan dan Manfaat Penerapan Teknologi
1.3.1. Tujuan :
Memproduksi ayam yang dagingnya mirip dengan daging ayam kampung
dan dapat diproduksi jumlah banyak dalam waktu yang singkat.
1.3.2. Manfaat :
Penerapan paket teknologi ini dapat menyediakan daging unggas dalam
jumlah banyak, mengurangi impor dan menambah peluang berusaha dan
lapangan kerja bagi masyarakat.
II. Pengertian Beberapa Istilah
Day Old Chick (DOC) : Anak ayam umur sehari
Daya tetas : Persentase telur yang menetas dari semua telur
fertil yang dimasukkan dalam mesin tetas atau
induk ayam.
Fertilitas telur : Persentase telur yang fertil (dibuahi) dari semua
telur yang dimasukkan dalam mesin tetas atau
4
induk ayam
Hen day (produksi telur) : Persentase produksi telur dari ayam yang
berproduksi dalam satu kandang.
Ayam Hibrida : Ayam hasil persilangan antara pejantan ayam
kampung dengan induk ayam ras petelur. Ayam
ini adalah ayam niaga artinya tidak dapat
dibibitkan lagi.
Histologi : Ilmu yang mempelajari jaringan tubuh (daging)
IB (Inseminasi Buatan) : Metode perkawinan buatan dengan cara
mengambil sperma pejantan, kemudian
diencerkan dan diinseminasikan (dimasukkan) ke
alat kelamin ayam betina.
RRMC (Rural Rearing
Multiplication Center).
: Suatu pusat perbibitan ayam yang dilakukan di
masyarakat.
III. Lokasi Pengkajian Dan Daerah Rekomendasi
3.1. Lokasi Pengkajian
Lokasi penelitian dan pengembangan Ayam Potong Lokal adalah :
1. Laboratorium Ternak Klepu, BPTP Jateng sebagai penelitian inseminasi
buatan
2. Lab. Histologi Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor
sebagai tempat pengujian histologi otot.
3. Kabupaten Temanggung, yaitu di Desa Sukomarto, Kecamatan Jumo, dan
Desa Pagergunung, Kecamatan Pringsurat, sebagai lokasi pengembangan di
tingkat lapang.
4. Rumah Makan tradisional Ibu Eli Karangjati, Semarang dan Rumah Makan
Wong Solo, Semarang (Uji Pasar).
5. Rural Rearing Multiplication Center (RRMC) Kabupaten Sukoharjo sebagai
lokasi pengembangan skala komersial.
5
3.2. Daerah Rekomendasi
Ayam Potong Lokal dapat dikembangkan di semua agroekosistem, namun
disarankan dikembangkan di lokasi yang populasi ayam ras petelurnya tinggi dan
dekat dengan daerah pemasaran ayam potong diantaranya, di Kabupaten/Kota
Semarang, Surakarta, Kabupaten Temanggung, Sukoharjo, Karanganyar,
Banyumas, Kendal, Klaten, dan Wonogiri serta tidak menutup kemungkinan
ayam ini dikembangkan di luar Provinsi Jawa Tengah yang mempunyai kondisi
yang sama.
IV. LANGKAH OPERASIONAL PENERAPAN TEKNOLOGI
Langkah operasional penerapan paket teknologi Ayam Potong Lokal
dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu,
4.1. Penelitian di Tingkat laboratorium
Penelitian di laboratorium meliputi, persilangan dengan teknik inseminasi
buatan (IB), penetasan, pertumbuhan ayam, evaluasi karkas, uji histologi daging.
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2002 – 2003. Semua penelitian
dilakukan di Laboratorium Ternak Klepu Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Jawa Tengah, kecuali uji histologi daging dilakukan di Laboratorium
Histologi Bagian Anatomi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor.
Persilangan dengan teknik IB menggunakan 4 ekor ayam kampung jantan
umur 1 tahun, 90 ekor ayam kampung betina umur 6 bulan dan 30 ekor ayam
ras petelur umur 6 bulan. Telur yang dihasilkan ditetaskan menggunkan mesin
tetas skala 100 butir. Evalusi pertumbuhan dan karkas serta uji histologi
dilakukan menggunakan akan hasil persilangan yaitu 74 ekor ayam hasil
persilangan antara ayam kampung dan ayam kampung (KK) dan 74 ekor ayam
hasil persilangan antara ayam kampung dan ayam ras petelur (KR).
Ayam KK dan KR dipelihara mulai umur 1 hari sampai 12 minggu dengan
manajemen yang sama. Kandang untuk pemeliharan ayam terdiri atas kandang
indukan dengan kepadatan 25 – 30 ekor/m2 untuk ayam umur 1 hari – 4 minggu,
kandang boks dengan kepadatan 10 – 15 ekor/m2 untuk ayam umur 4 – 8
6
minggu dan kandang liter dengan kepadatan 8 – 10 ekor/m2 untuk ayam umur 8
– 12 minggu.
Pakan yang diberikan pada ayam KK dan KR umur 1 – 30 hari minggu
berupa pakan komersial, umur 31 – 60 hari diberi pakan campuran antara pakan
komersial, jagung dan bekatul ditambah mineral (Tabel 2).
Tabel 2. Susunan Pakan dan Kandungan Gizi untuk Ayam Umur
1 hari – 4 Minggu dan 4 – 12 Minggu.
1 hari – 4 minggu 4 – 12 minggu
Susunan pakan :
Pakan komersial 100 %
Kandungan gizi :
Protein Kasar 21%
Susunan pakan :
Pakan komersial 19%
Jagung 38%
Bekatul 38%
Mineral Top Mix 4%
Kandungan gizi :
Protein kasar 16%
Energi Metabolis 2.800 kkal/kg
4.2. Uji Preferensi/Rasa
Uji rasa yang dilakukan untuk mengetahui preferensi konsumen dalam
mengkonsumsi masakan daging ayam hasil persilangan dibandingkan dengan
ayam kampung.
4.3. Uji Konsumen/Pasar
Uji pasar yang dilakukan untuk mengetahui respon konsumen khususnya
rumah makan dalam memproses masakan ayam menjadi masakan ayam siap
jual. Uji ini dilakukan terhadap ayam hasil persilangan dibandingkan dengan
ayam kampung di rumah makan tradisonal dan rumah makan modern.
4.4. Pengkajian di tingkat petani
Kegiatan pengkajian dilaksanakan di Kabupaten Temanggung. Pengkajian
dilaksanakan selama 1 tahun mulai bulan Juli 2003 – Juli 2004. Jumlah petani
kooperator adalah 30 orang. Pengkajian dikelompokkan berdasarkan unit
usahanya yaitu, (1) unit usaha memproduksi telur tetes, (2) unit usaha
memproduksi anak ayam umur sehari (penetasan), (3) unit usaha memproduksi
ayam siap potong.
7
4.5. Kajian kelembagaan
Kajian kelembagaan meliputi kelembagaan produksi, dan pemasaran.
Kajian ini mengalami hambatan, namun sampai saat ini masih berlangsung.
V. HASIL KERAGAAN TEKNOLOGI
5.1. Penelitian di Laboratorium
Penelitian di laboratorium difokuskan pada evaluasi hasil persilangan
antara pejantan ayam kampung dengan ras petelur betina (KR) dibandingkan
dengan ayam kampung murni atau persilangan antara pejantan ayam kampung
dengan betina ayam kampung (KK). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
fertilitas dan daya tetas hampir sama antara telur ayam hasil persilangan (KR)
dibandingkan ayam kampung (KK), Perbedaan yang paling meninjol adalah
bobot badan per ekor umur 60 hari yaitu pada ayam hasil persilangan 744 g,
sedang pada ayam kampung 532,4 g. Untuk persentase karkas pada ayam
kampung sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan ayam hasil persilangan (Tabel
3).
Tabel 3. Penampilan Ayam Hasil Persilangan
Uraian KK KR
Bobot telur (g) 43,1 64,8
Fertilitas (%) 83,4 84,4
Daya tetas (%) 61,1 61,3
Bobot umur 1 hr (g) 26,7 40,4
Bobot umur 60 hr (g) 532,1 744,3
Kon. Pakan/ekor (kg) 2,0 2,0
Karkas 12 mg (%) 60,1 58,8
Keterangan :
KK = Ayam hasil persilangan kampung x kampung
KR = Ayam hasil persilangan kampung x kampung
Penelitian berikutnya adalah mengevaluasi karkas antara ayam hasil
persilangan dengan ayam kampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase bagian tubuh yang paling besar adalah dada, pada ayam KK =
21.20% dan KR = 21.7%. Daging dadanya juga mempunyai persentase paling
besar dibandingkan daging paha atas dan daging paha bawah yaitu 17.2% pada
KK dan 18.0% pada KR, persentase bagian-bagian karkas dapat dilihat pada
8
Tabel 4 (Muryanto et al., 2002). Mountney dan Parhurst (1995) dan Soeparno
(1998) menyatakan bahwa semakin tinggi bobot karkas, maka semakin berat
potongan-potongan karkasnya, namun yang paling tinggi bobotnya adalah
bagian dada dibandingkan dengan punggung, paha dan sayap.
Tabel 4. Persentase Potongan Karkas Terhadap Bobot Karkas pada
Ayam KK dan KR Umur 12 Minggu (%)
Potongan Karkas KK KR
• Punggung
• Pinggul
• Sayap
• Dada
- Daging dada
- Tulang dada
• Paha atas
- Daging paha atas
- Tulang paha atas
• Paha bawah
- Daging paha bawah
- Tulang paha bawah
11,00 + 1,1
12,10 + 1,6
15,81 + 0,8
24,20 + 1,7
17,20 + 1,8
7,04 + 1,3
19,00 + 1,2
15,00 + 1,2
14,98 + 1,2
18,00 + 1,1
12,94 + 0,2*
5,00 + 0,7
11,90 + 1,9
11,80 + 1,6
16,20 + 1 3
24,70 + 1,7
18,00 + 1,6
6,72 + 1,36
18,40 + 1,6
14,10 + 1,6
14,13 + 1,7
17,10 + 1,6
11,84 + 0,3
5,20 + 1,1
*) = berbeda nyata p < 0.05
sumber : Muryanto et al. (2002).
Setelah karkas dievaluasi kemudian dilanjutkan dengan dengan
melakukan penelitian histologi daging dada dengan mengukur diameter serabut
ototnya. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa ukuran diameter serabut otot
dada meningkat sesuai dengan bertambahnya umur ayam, namun
peningkatannya pada ayam KK dan KR tidak sama (Tabel 4). Dari Tabel tersebut
ditunjukkan bahwa diameter serabut otot dada umur 2, 4, 8, 10 dan 12 minggu
antara ayam KK dan KR tidak berbeda, namun pada umur 6 minggu diameter
pada ayam KK nyata lebih besar (P < 0.05) dibandingkan dengan KR.
Perbedaan ini disebabkan karena setelah umur 4 minggu dilakukan pergantian
pakan dari pakan yang kandungan proteinnya 21 % ke pakan yang mengandung
protein 16 %. Jadi dapat disimpulkan bahwa faktor pakan mempengaruhi ukuran
diameter serabut otot dada (Trautmann dan Fiebiger 1957; Ockerman 1983).
9
Pergantian pakan tersebut, menyebabkan perlambatan perkembangan
otot dada, namun setelah umur 8 minggu ayam dapat menyesuaikan diri
sehinggga perkembangan serabut ototnya meningkat sama dengan ayam KK. Hal
ini mengindikasikan bahwa ayam KR lebih peka terhadap perubahan pakan.
Sebaliknya serabut otot dada ayam kampung (KK) mampu berkembang
pada umur 6 minggu. Hal ini disebabkan karena ayam KK adalah keturunan dari
ayam kampung yang asalnya dipelihara secara tradisional dengan kualitas pakan
yang rendah. Kualitas pakan rendah ini dilaporkan oleh Sutjipto et al. (1988) dan
Sudaryanti dan Maryanto (1989) dengan melakukan analisis proksimat isi
tembolok ayam kampung. Hasil analisis menunjukkan kandungan protein isi
tembolok yang mencerminkan kebiasaan pakan yang dikonsumsi ayam kampung
adalah 11 – 12%. Jadi dapat disimpulkan bahwa ayam kampung yang diberi
pakan dengan kandungan protein lebih tinggi dari biasanya yaitu 16%
berpengaruh positip terhadap perkembangan serabut otot dada.
Diameter serabut otot dada umur 8 - 12 minggu antara ayam KK dan
ayam KR tidak berbeda nyata. Hal ini dapat diartikan bahwa tekstur otot dada
antara ayam KK dan KR umur 8 - 12 minggu adalah sama, karena menurut
Desroier (1977), diameter serabut otot menentukan kelenturan dan tekstur
daging, serabut otot yang memiliki diameter besar penampilannya lebih kasar
dan lebih keras dibandingkan serabut otot yang berdiameter kecil. Tektur daging
yang sama tersebut dapat memperbesar peluang ayam KR sebagai sumber
produksi daging unggas yang mirip daging ayam kampung, karena ayam KR
dapat diproduksi dalam jumlah banyak dibandingkan dengan ayam kampung
(KK). Kesimpulan ini juga didukung dengan pengamatan selama penelitian, yaitu
karkas dari ayam KR dan KK secara fisik sulit dibedakan.
Tabel 5. Diameter Serabut Otot Dada pada Ayam KK dan KR (μm)
Ayam Umur (minggu)
2 4 6 8 10 12
KK 12.69 17.63 23.10 * 26.12 29.41 33.06
KR 13.02 17.49 21.64 26.33 29.68 33.27
Keterangan : KK = Kampung x Kampung; KR = Kampung x Ras petelur
* = Berbeda nyata pada kolom yang sama (P < 0.05)
10
5.2. Uji Preferensi/Rasa
Uji rasa masakan daging ayam hasil persilangan dibandingkan dengan
ayam kampung. Digunakan ayam sebanyak 20 ekor ayam bobot rata 0,9 kg,
masing-masing 10 ekor ayam hasil persilangan dan 10 ekor ayam kampung.
Jenis masakan yang dibuat adalah ayam goreng dengan cara masak, waktu
masak dan bumbu yang sama. Uji rasa dilakukan di Wisma Sumodilagan,
Kabupaten Temanggung diikuti oleh 30 panelis terdiri dari petugas pemerintah
daerah 8 orang, petani 15 orang, pedagang ayam dan pengusaha rumah potong
8 orang. Hasil uji rasa menunjukkan bahwa 80 % panelis tidak dapat
membedakan antara ayam hasil persilangan dengan ayam kampung baik bentuk
fisik, kekenyalan dan rasanya.
Hasil uji rasa tersebut minimal membuktikan dan mendukung hasil
penelitian sebelumnya yaitu bahwa tekstur daging pada umur potong 8 - 12
minggu antara ayam hasil persilangan dengan ayam kampung adalah tidak
berbeda. Namun demikian penelitian uji rasa tersebut belum memenuhi prosedur
pengujian, karena bahan yang diuji sudah dicampur dengan bumbu dan dimasak.
Untuk itu akan dilakukan penelitian lebih lanjut guna memenuhi standard uji
organoleptik.
5.3. Uji Konsumen/Pasar
Uji konsumen/pasar masing-masing di rumah makan tradisional yaitu
Rumah Makan (RM) Ibu Eli di Pasar Karangjati, kecamatan Bergas, kabupaten
Semarang dan RM modern yaitu di RM. Wong Solo, Semarang. Ayam yang
dimasak di RM tradisional sebanyak 20 ekor, terdiri dari 10 ayam hasil
persilangan dan 10 ayam kampung, sedangkan ayam yang dimasak di RM
modern sebanyak 15 ekor terdiri dari 10 ekor ayam hasil persilangan masingmasing
5 ekor dalam bentuk segar dan 5 ekor dalam bentuk beku dan 5 ekor
ayam kampung yang berasal dari rumah makan yang bersangkutan.
Hasil uji konsumen yang dilakukan di rumah makan tradisional
menunjukkan bahwa ayam hasil persilangan mempunyai kualitas yang sama
dibandingkan dengan masakan ayam kampung yang biasanya dilakukan. Sedang
pengujian di rumah makan modern dengan teknik memasak yang berbeda
ternyata hasilnya sama dengan rumah makan tradisinal baik yang menggunakan
11
ayam segar maupun ayam beku, artinya rumah makan modern dapat menerima
ayam hasil persilangan sebagai bahan masakan yang mempunyai kualitas yang
sama dengan masakan ayam kampung yang biasa dilakukan. Namun pada
pengujian di rumah makan modern pada awalnya terdapat keraguan terutama
yang menggunakan bahan ayam dalam bentuk beku. Rumah makan tersebut
tidak biasanya menggunakan bahan atau karkas ayam dalam bentuk beku.
Kualitas hasil masakan yang sama antara masakan yang menggunakan karkas
beku dengan yang menggunakan karkas segar diduga disebabkan karena
pemrosesan yang dilakukan sudah sesuai standard kesehatan. Proses
pemotongan dan pembekuan dilakukan RPA Tuhu Barokah dalam operasionalnya
menggunakan standard kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah, dan sudah
memiliki sertifikat halal dari Majlis Ulama Indonesia.
5.4. Pengkajian di Tingkat Petani
Pengkajian di tingkat petani disesuaikan dengan inovasi teknologi yang
diaplikasikan pada tiga unit usaha, yaitu (1) Unit usaha memproduksi telur tetas,
(2) Unit usaha memproduksi anak ayam umur sehari (DOC), dan (3) Unit usaha
memproduksi ayam siap potong.
5.4.1. Unit usaha memproduksi telur tetas.
Pada pengkajian ini diintroduksi 100 ekor ayam ras petelur umur 16
minggu, di desa Sukomarto, kecamatan Jumo, kabupaten Temanggung. Ayam ini
dipersiapkan untuk memproduksi telur tetas untuk kepentingan pengembangan
ayam potong lokal. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ayam mulai bertelur
umur 20 minggu. Produksi telur hen day (HD) pada bulan pertama 44,5%, pada
bulan kedua naik menjadi 66,3 %, pada umur selanjutnya sampai 6 bulan
produksi, produksi telurnya berkisar antara 74,0 % - 78,9 % (Tabel 6).
Produksi telur dari ayam tersebut dimaksudkan untuk memproduksi telur
tetas, dengan cara melakukan inseminasi Buatan (IB). Sperma diambil dari
pejantan lokal (kampung). IB tersebut dilakukan setelah ayam ras petelur
mempunyai produksi yang relatif seragam baik bentuk maupun bobotnya.
Keseragaman tersebut dicapai setelah ayam berproduksi selama satu bulan atau
umur ayam mencapai 24 minggu atau 6 bulan.
12
Tabel 6. Produksi telur Ayam Ras Petelur di Desa Sukomarto,
Kecamatan Jumo, Kabupaten Temanggung
Umur
(minggu)
Jumlah Ayam
(ekor)
Produksi telur/
bulan (butir)
Rata-rata prod.
Telur/hari (butir)
Produksi telur
HD (%)
20 97 1.295 43,17 + 16,1 44,5 + 16,6
24 95 1.951 62,94 + 4,7 66,3 + 4,9
28 95 2.173 74,93 + 4,3 78,9 + 4,5
32 95 2.283 73,65 + 5,6 77,5 + 5,9
36 95 2.166 72,20 + 3,6 76,0 + 3,8
40 94 2.106 71,20 + 3,5 74,0 + 3,4
Jumlah - 11.974 - -
IB yang awalnya dilaksanakan oleh peternak bersama tim pengkaji,
namun sejalan proses pembelajaran sambil berlatih, setelah 3 bulan peternak
mampu melakukan IB tanpa bantuan tim pengkaji. Keberhasilan IB diukur dari
tingkat fertilitas telur yang diperoleh, yaitu berkisar antara 73,3 – 83,5 %. Angka
ini merupakan hasil yang baik karena sama dengan hasil IB yang dilakukan di
laboratorium. Hal ini membuktikan bahwa teknologi IB dapat diadopsi oleh
peternak.
5.4.2. Unit usaha memproduksi anak ayam umur sehari (Penetasan).
Peternak melaksanakan penetasan telur dilakukan 1 – 3 kali. Pada waktu
pertama kali menetaskan, daya tetasnya bervariasi antara 15 – 66 % (rata-rata
44,23 %). Dari 15 peternak yang melakukan penetasan, 3 orang diantaranya
menghasilkan daya tetasnya lebih dari 67 – 72 % (Tabel 7). Pada penetasan
tahap kedua ternyata hasilnya menurun bahkan 3 orang peternak mengalami
kegagalan (tidak menetas). Hal ini menjadi bahan diskusi untuk dicari
pemecahannya, sehingga pada penetasan ketiga hanya dilakukan oleh 3
peternak, hasilnya menunjukkan bahwa daya tetasnya berkisar antara 67 -
72%. Dari hasil kajian ini disimpulkan bahwa penetasaan telur disarankan untuk
dilakukan pada peternak yang menguasai teknik penetasan.
13
Tabel 7. Penetasan Telur di di Tingkat Petani
Daya tetas (%)
No Peternak Jumlah telur Penetasan ke
(butir)
Fertilitas
(%)
I II III
Rata-rata
1 Agus Ashari 164 73,3 51,40 44,29 67,50 54,40
2 Yuhri 164 80,5 51,40 23,94 - 37,67
3 Budi 160 81,5 61,42 23,19 - 42,31
4 Ashuri 102 82,5 50,00 35,29 - 42,65
5 Muarto 103 83,5 24,00 gagal - -
6 Ashari 220 82,0 66,17 50,00l 72,73 69,45
7 Suwarno 94 83,5 35,00 32,45 - 33,73
8 Kamsu 94 82,5 44,00 gagal - -
9 Wahono 240 82,0 15,00 17,14 - 16,07
10 Suwandi 150 79,0 54,43 55,0 - 54,72
11 Wiwik 80 74,0 21,62 - - 21,62
12 Suroto 80 78,0 12,82 - - 12,82
13 Ahmad 80 78,0 gagal - - -
14 Tejo 80 74,0 gagal - - -
15 Sutrisno 230 74,0 51,40 44,29 72,50 56,06
Hal yang perlu dicermati dari kajian penetasan ini adalah bahwa telur
yang tidak menetas disebabkan karena tidak mampunya embrio/anak ayam
dalam telur untuk memecah kerabang, sehingga ayam mati didalam telur atau
kalau dibantu pemecahan kerabangnya, daya hidupya rendah. Hal ini diduga
disebabkan karena a) kelalaian peternak dalam melakukan prosedur penetasan,
b) faktor mesin tetas yang tidak dapat mencapai kelambaban optimal, yaitu 70
% menjelang saat penetasan (Nort and Bell, 1990). Peternak yang berhasil
dalam penetasan memanipulasi kelembaban dengan menyemprotkan air pada
telur 3 – 5 hari sebelum menetas.
Pada kegiatan ini juga dilakukan penetasan telur menggunakan induk
ayam sebagai kontrol baik terhadap penetasan menggunakan mesin maupun
kontrol tingkat keberhasilan IB yang ditunjukkan dengan fertilitas yang tinggi.
Telur yang ditetaskan dengan induk ayam (Tabel 9) ternyata menghasilkan daya
tetas yang tinggi. Rata-rata daya tetas yang diperoleh adalah 92,9 %. Hasil
penetasan ini membuktikan bahwa penetasan yang dilakukan menggunakan
mesin tetas terdapat kesalahan, mungkin prosedurnya/operatornya, mesinnya
atau kondisi telurnya. Hal ini mendorong peternak untuk meningkatkan
ketrampilannya melakukan penetasan menggunakan mesin tetas.
14
Tabel 8. Penetasan Telur Menggunakan Induk Ayam.
No Peternak / Desa Jumlah
(btr)
Fertilitas
(%)
Daya tetas
(%)
1 Ashuri / Sukomarto 36 87,50 85,71
2 Suramin / Sukomarto 11 - 90,91
3 Sumeri / Sukomarto 18 - 88,89
4 Guru / Bejen 20 - 100,00
5 Suwarno / Sukomarto 11 - 90,91
6 Wahono / Sukomarto 11 - 90,91
7 Kamsu / Sukomarto 11 - 90,91
8 Jahno / Sukomarto 11 - 100,00
9 Kukuh / Bentisan 59 - 91,52
10 Dwi Septi / Bejen 20 - 90,00
11 Muarto / Sukomarto 18 100 100,00
12 Yeti /Bejen 27 - 90,00
Jumlah 212 1109,76
Rata-rata 19,273 92,48
Std 16,01 4,78
Tabel 9. Penetasan Telur Ayam Hasil Persilangan antara Pejantan
kampung dengan Ras Petelur.
Telur Fertil Embrio Mati Telur Menetas
Angkatan (Daya tetas)
Jumlah
telur
(Butir) Butir % Butir % butir %
1 123 100 81,3 21 21,0 72 72,0
2 80 65 81,2 11 16,9 41 72,3
3 100 90 90,0 12 13,3 49 54,4
4 100 85 85,0 13 15,3 47 55,2
Rata-rata 84,4+3,6 16,6+2,8 63,5+8,7
Penetasan telur juga dilakukan menggunakan mesin tetas otomatis skala
7500 butir. Hasil penetasan menunjukkan daya tetasnya 62,09 % (Tabel 10).
Daya tetas telur menggunakan mesin otomatis tersebut masih belum optimal,
seharusnya dapat mencapai 80 % (North dan Bell, 1990). Rendahnya daya tetas
dari penetasan menggunakan mesin otomatis diduga disebabkan oleh beberapa
fakor diantaranya :
1. Lokasi yang berjauhan antara produksi telur tetas dan tempat penetasan
2. Belum sesuainya waktu antara mesin tetas siap menetaskan dengan waktu
telur tetas diproduksi. Hal ini menyebabkan telur yang sudah saatnya
15
ditetaskan menjadi mundur atau umurnya lebih dari 7 hari, sehingga
kualitasnya sudah menurun.
Dengan pertimbangan kedua faktor diatas, maka penetasan kemudian
dilakukan pada lokasi yang berdekatan dengan lokasi pemeliharaan induk yang
memproduksi telur tetas, yaitu di Kabupaten Sukoharjo. Daya tetas dari
penetasan tersebut rata-rata sebesar 70%.
Tabel 10. Penetasan Telur Menggunakan Mesin Otomatis (Pak
Jarwoto, Parakan, Temanngung)
No Jumlah Fertilitas Kematian Embrio Daya Tetas
(butir) (%) (butir) (%) (ekor) (%)
1 1000 700 70,00 150 21.43 380 54,29
2 1000 650 65,00 105 16.15 443 68,15
3 800 425 53,13 78 18.35 360 84,71
4 1000 640 64,00 98 15.31 262 40,94
Jum 3,800 2,415 252,13 431 71.25 1.445 248,08
Rata2 950.00 603,75 63,03 107,75 17,81 361,25 62,02
5.4.3. Unit usaha memproduksi ayam siap potong.
Kegiatan usaha memproduksi ayam siap potong, dilakukan dengan
memperhitungkan pertambahan bobot badan, komsumsi dan konversi pakan
(Tabel 11). Bobot badan DOCi 29,8 g/ekor, setelah umur 30 hari bobotnya
menjadi 434,5 g/ekor dan pada umur 60 hari (panen) bobotnya mencapai 917,3
g/ekor. Selama pemeliharaan tersebut menghabiskan pakan sebanyak 2,0 kg
terdiri dari 0,5 kg pakan komersial dan 1,5 kg pakan campuran. Bobot badan
umur 60 hari tersebut lebih tinggi jika dibandingkan ayam kampung yang
mendapatkan perlakuan manajemen yang hampir sama termasuk pakannya yaitu
hanya mencapai 500 – 600 g/ekor (Muryanto, 2002).
16
Tabel 11. Pertambahan Bobot Badan, Konsumsi, Konversi Pakan dan
Mortalitas
U r a i a n Keterangan
Umur 1 – 30 hari :
Jumlah Peternak (orang) 9
Jumlah Ayam (ekor) 450
Bobot umur 1 hari (g) 29,8 + 4,8
Bobot umur 30 hari (g) 434,5 + 12,55
PBB 1 – 30 hari (g) 404,7 + 20,00
Konsumsi pakan 1 – 30 hari (g) 500
Konversi pakan 1 – 30 hari 1,2
Mortalitas 1 – 30 hari (%) 18,33
Umur 30 – 60 hari :
Jumlah Peternak (orang) 4
Jumlah Ayam (ekor) 160
Bobot /ekor umur 30 hari (g) 434,5 + 12,55
Bobot/ekor umur 60 hari (g) 917,3 + 50,56
PBB 30 – 60 hari (g) 482,7 + 55,00
Konsumsi pakan 30 – 60 hari (g) 1.500
Konversi pakan 30 – 60 hari 3,1
Mortalitas 30 - 60 hari (%) 0
5.5. Kajian Pengembangan Kelembagaan
Rancang bangun pengembangan kelembagaan ayam potong lokal
disusun berdasarkan diskusi antar pelaku usaha. Pada prinsipnya rancang
bangun yang disusun merupakan suatu alur usaha mulai dari produksi telur
tetas, produksi anak ayam dan produksi ayam siap potong serta didukung
dengan pasar yang akan menampung produk akhir dari rangkaian alur usaha
tersebut (Ilustrasi 1).
Pada tahap awal dilakukan pertemuan semua pelaku usaha yang terkait
dalam pengembangan ayam potong lokal. Dari hasil pertemuan tersebut telah
disepakai bahwa, (1) Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo bekerjasama dengan
swasta akan bertugas untuk memproduksi telur tetas, anak ayam dan pakan,
(2) Kelompok tani ternak ayam akan membeli anak ayam dan memproduksi
ayam siap potong, (3) Pedagang ayam dari kabupaten Magelang berkewajiban
membeli ayam siap potong yang akan diproduksi. Kesepakatan lainya yang
terkait dengan pemasaran produk adalah adalah harga telur tetas per butir
Rp. 850 – 900, harga anak ayam per ekor Rp. 2.750,- dan harga ayam siap
17
potong per ekor Rp. 12.000,-. Harga pakan anak ayam umur 30 – 60 hari
berkisar Rp. 1.800 – Rp. 2.000 ( Prasetyo, T. et al. (2005).
KONSEP PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
PROD. TELUR TETAS
PROD. DOC
Kab. Karanganyar PT. BATARA/ RRMC SUKOHARJO Kab. Temanggung
PT BATARA/DISTAN/RRMC
SUKOHARJO
PROD. AYAM POTONG
Kab. Karanganyar Kab. Temanggung Kab. Surakarta Kab. Wonogiri
PASAR
Pedagang Magelang dan Solo, PT. Toda Smrg, Kop. Solo, Mandiri
Sapronak
PT. BATARA
Teknologi, kebijakan, modal
Disnak, BPTP, Kop, dll.
Ilustrasi 1. Konsep Pengembangan Kelembagaan ayam Potong Lokal
Pengembangan ayam Potong Lokal sampai sekarang masih berlangsung
dan kondisi yang dapat dilaporkan saat ini diantaranya :
1. Pelatihan teknologi pengembangan ayam potong lokal sudah dilakukan,
mulai dari perkawinan (IB), manajemen penetasan, pembesaran, sampai
kesehatan. Saat ini proses produksi sudah berlangsung dan sepenuhnya
dilakukan oleh tenaga yang dilatih.
2. Produksi telur tetas dan DOC berlangsung di Dinas Pertanian Kabupaten
Sukoharjo/RRMC. Kapasitas induk 800 ekor dan pejantan 65 ekor.
Produksi telur tetas mencapai 2500 butir per minggu.
3. Produksi anak ayam (DOC) berlangsung di RRMC Sukoharjo dan Dinas
Pertanian kabupaten Karanganyar. Kapasitas mesin tetas di RRMC
Sukoharjo adalah 1 buah mesin tetas otomatis kapasitas 7500 butir,
sedang di Karanganyar kapasitasnya 4000 butir. Produksi anak ayam di
RRMC saat ini 1300 ekor per minggu, sedang Karanganyar 400 ekor per
minggu. Produksi DOC tersebut sudah berlangsung selama 3 bulan
18
(Pebruari – April 2006) dan semua DOC habis terjual, bahkan kurang.
Pada tahun 2006 ini RRMC Sukoharjo akan menambah 1 buah mesin
tetas kapasitas 7500 butir.
4. Kelompok tani ternak yang memelihara/membesarkan DOC sampai siap
potong masih terbatas di Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten
Karanganyar.
5. Pemasaran ayam siap potong untuk sementara masih dilakukan secara
mandiri oleh peternak sendiri.
Hambatan yang dijumpai dalam pengembangan ayam potong lokal
adalah, kinerja kelembagaan sangat dipengaruhi oleh produksi telur tetas dan
anak ayam. Sehingga jumlah induk dan mesin tetas sangat berpengaruh
terhadap pengembangan kelembagaan ayam potong lokal. Hambatan lainnya
adalah masih adanya ketergantungan dengan produsen mesin tetas. Kerusakan
yang pernah terjadi mengakibatkan penundaan produksi anak ayam dan harus
memanggil teknisi mesin tetas dari Yogyakarta. Oleh karena itu perlu disiapkan
tenaga teknisi mesin tetas yang terlatih.
Pengembangan selanjutnya dari kelembagaan pengembangan ayam
potong lokal secara bertahap diserahkan Dinas Pertanian Kabupaten Sukoharjo
yang dikelola secara mandiri misalnya seperti Perusda.
VI. KELAYAKAN FINANSIAL
Pengembangan Ayam Potong Lokal dapat mendorong tumbuhnya usaha
baru sekaligus membuka lapangan kerja bagi masyarakat. Hal ini disebabkan
karena pengembangan ayam ini merupakan usaha yang dapat dibagi sesuai
dengan status produksinya, dengan kata lain usaha Ayam Potong Lokal diawali
dengan usaha memproduksi telur tetas, kemudian dilanjutkan dengan usaha
menetaskan telur dan terakhir usaha memproduksi ayam siap potong. Segmensegmen
usaha tersebut dapat dimplementasikan di suatu wilayah atau kelompok
tani ternak yang anggotanya dapat memilih usaha sesuai dengan keahliannya
masing-masing. Oleh karena pangsa pasar Ayam Potong Lokal masih terbuka,
maka jumlah petani yang terlibat dalam rangkaian usaha tersebut akan semakin
banyak. Penjelasan kelayakan dari masing-masing usaha adalah sebagai berikut :
19
6.1. Analisis Usaha Memproduksi Telur Tetas
Analisis usaha memproduksi telur tetas diperhitungkan mulai dari
pemeliharaan bulan pertama sampai bulan keenam. Ayam mulai masuk kandang
umur 18 minggu, pada umur tersebut ayam belum berproduksi. Mulai minggu
kedua ayam baru berproduksi namun persentasenya masih rendah dan telurnya
kecil-kecil dengan bobot rata 30 g/butir. Hasil analisis ditunjukkan pada Tabel 12.
Dari Tabel 12 ditunjukkan perhitungan dengan asumsi bahwa
pemeliharaan ayam tersebut tidak mengintroduksi teknologi IB, maka
keuntungannya hanya Rp. 33.745/bulan. Hasil tersebut sangat jauh dibandingkan
dengan pemeliharaan dengan mengintroduksi teknologi IB yaitu Rp. 570.024 /bl.
Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan harga yang tinggi antara telur
konsumsi dan telur tetas yaitu Rp. 330 /butir dengan Rp. 750 /butir.
Tabel 12. Analisis Usaha Memproduksi Telur Tetas (100 ekor/6 bulan)
No Uraian Prod. Telur
Tetas
Prod. Telur
Konsumsi 1)
Input :
1 Penyusutan Kandang batere/6 bl 2) 68.750 68.750
2 Penyusutan ayam petelur / 6 bl 3) 375.000 375.000
3 Pakan / 6 bl (0,1x96x30x6xRp.2000) 3.465.000 3.465.000
4 obat dan vaksin / 6 bl 20.000 20.000
5 Penyusutan perlengkapan, Alat IB 25.000 0
6 Tenaga kerja / 6 bl 240.000 200
Jumlah (1- 6) 4.193.750 3.928.950
Output :
1 Produksi telur (butir) 11.974 11.974
- telur konsumsi (butir) 3.682 11.974
- telur konsumsi (@ Rp. 330) a) 1.215.192 3.951.420
- telur tetas (butir) 8.292 0
- telur tetas (@ Rp 750) b) 6.218.700 0
2 Kotoran ayam c) 180.000 180.000
Jumlah (a+b+c) 7.613.892 4.131.420
Keuntungan/ 6 bl 3.420.142 202.470
Keuntungan/bl 570.024 33.745
Keterangan : 1) Perhitungan asumsi apabila tidak dilakukan IB; 2) Harga kandang Rp.27.500/4
ekor, umur pakai 5 tahun; 3) Harga induk ayam akan berkurang Rp. 15.000/ekor, selama 2 tahun
6.2. Analisis Usaha Penetasan Telur
Dalam melakukan analisis usaha penetasan, dijumpai beberapa kesulitan
dinataranya, peternak rata-rata baru pertama kali melakukan, hasil penetasannya
sangat bervariasi dan tingkat kesibukan petani juga bervariasi. Untuk itu dalam
20
analisis ini ditunjukkan 3 model, pertama analisis usaha bagi penetas pemula,
analisis usaha bagi penetas yang sudah mampu/ahli dan analisis usaha
penetasan menggunakan induk ayam. Kapasitas mesin 100 butir/mesin untuk
ayam kampung, namun untuk menetaskan telur ayam potong lokal hanya
mampu 82 butir/mesin, sedang petani yang menetaskan menggunakan
kapasitasnya 11 butir/induk (Tabel 13).
Dari ketiga model penetasan tersebut menunjukan bahwa pada penetas
pemula mengalami kerugian sebesar Rp.19.430 /periode/82 butir, sedang
penetas yang sudah mampu karena ketekunan belajarnya mendapat keuntungan
sebesar Rp. 49.841 /periode/82 butir. Penetasan menggunakan induk ayam juga
mendapatkan keuntungan Rp. 14.076 /induk/11 butir, namun untuk
mengembangkan dalam skala yang besar penetasan ini sulit dilakukan karena
membutuhkan induk yang sedang mengeram dalam jumlah banyak.
Kajian penetasan ini diulang lagi di tingkat petani yang menguasai teknik
penetasan. Hasil kajian menunjukkan bahwa fertilitas telur 84,4 %, kematian
embrio pada telur yang ditetaskan adalah 16,6 % dan daya tetasnya 63,5 %.
Hasil ini sudah menunjukkan adanya peningkatan daya tetas dibandingkan
dengan kajian sebelumnya.
Tabel 13. Analisis Usaha Penetasan Telur Menggunakan Mesin Tetas
dan Induk Ayam
U r a i a n Alat Penetas
Mesin
(Pemula)
Mesin
(Ahli)
Induk
Ayam
Input :
Jumlah telur /mesin atau per induk 82 82 11
Harga telur tetas/btr (Rp) 750 750 750
Biaya pembelian telur (Rp) a) 60.000 60.000 8.250
Biaya penetasan (Rp) b) 28.700 28.700 -
Pakan induk /ekor = 0,1xRp.1000x21 hari c) 2.100
Pakan DOC 0,009 x DOC x 4 hr x Rp 2800 d) 2.480 4.959 874
Jumlah (a+b+c+d) = (A) 91.180 93.659 11.224
Output :
Daya tetas (%) 35 70 92
Jumlah DOC (ekor) 28,7 57,4 10,12
Harga DOC/ekor (Rp) 2.500 2.500 2.500
Hasil penjualan DOC (a x b) = (B) 71.750 143.500 25.300
Keuntungan (B - A) -19.430 49.841 14.076
21
6.3. Analisis Usaha Memproduksi Ayam Siap Potong
Hasil analisis usaha menunjukkan bahwa biaya produksi selama
pembesaran yaitu Rp. 860.000. Biaya ini sebagian besar merupakan biaya pakan
yaitu Rp. 510.000 dan biaya pembelian anak ayam Rp. 250.000 (Tabel 14). Dari
analisis usaha diperoleh informasi bahwa keuntungan pembesaran ayam potong
lokal adalah Rp. 204.087/100 ekor/60 hari, atau Rp. 2.041/ekor/60 hari.
Tabel 14. Analisa Usaha Memproduksi Ayam Siap Potong
No Uraian Unit/Ekor/kg @ Rp. Jumlah (Rp)
Input :
1 Anak ayam (DOC) 100 2.500 250.000
2 Pakan 100 5.100 510.000
3 Listrik 1 10.000 10.000
4 Obat & vaksin 1 10.000 10.000
5 Penyusutan kandang 1 30.000 30.000
6 Tenaga kerja 1 50.000 50.000
Jumlah 860.000
Output :
1 Penjualan ayam (ekor) 96,7
2 Penjualan ayam (kg) 88,7 12.000 1.064.087
Jumlah 1.064.087
Keuntungan/100
ekor 204.087
Keuntungan / ekor 2.041
Dari perhitungan analisis usaha tersebut diketahui bahwa pengembangan
Ayam Potong Lokal mempunyai nilai komersial yang tinggi dari komponenkomponen
teknologi yang diterapkan dalam bentuk cabang-cabang usaha.
Penjelasannya adalah sebagai berikut.
a. Nilai Komersial Usaha memproduksi telur tetas (Teknologi IB).
Penerapan teknologi IB dari usaha ini akan meningkatkan nilai jual dari
telur konsumsi menjadi telur tetas. Telur konsumsi yang harganya Rp. 6.000/kg
atau Rp. 333/butir (1 kg berisi 18 butir) bila induknya diperlakukan dengan IB,
maka telur konsumsi yang diproduksi berubah menjadi telur tetas yang harganya
Rp. 750/btr. Tingkat keberhasilan IB dapat mencapai 80 – 90%. Analisis usaha
dan cashflow disajikan pada Lampiran 1 dan 4.
22
b. Nilai Komersial Usaha penetasan telur.
Harga telur tetas Rp. 750/butir bila ditetaskan akan menjadi anak
ayam/DOC yang harganya Rp. 2.500/ekor atau meningkat 212%. Tingkat
keberhasilan penetasan di tingkat peternak 60 – 70 % dan biaya penetasan
berkisar antara Rp. 500 – 750/butir. Penetasan telur dapat dilakukan
menggunakan mesin tetas konvensional dan mesin otomatis Analisis usaha dan
cashflow disajikan pada Lampiran 2, 5 dan 6.
c. Nilai Komersial Usaha pembesaran ayam.
Harga anak ayam umur sehari/DOC Rp. 2.500/ekor, bila dipelihara sampai
umur potong umur 60 hari yang menghabiskan biaya pakan Rp.5.100/ekor,
biaya vaksin, obat dan penyusutan peralatan kandang Rp. 8.000, sehingga total
biaya produksi Rp. 8.600. Ayam tersebut setelah umur potong dengan bobot
0,85 kg dijual dengan harga Rp.12.000/ekor. Analisis usahanya dilampirkan
pada Lampiran 3.
VII. MANAJEMEN DISEMINASI TEKNOLOGI
Manajemen diseminasi dari paket teknologi yang digunakan dalam kajian
pengembangan APL ini dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Diseminasi secara langsung dilakukan melalui tatap muka dengan petani. Pada
lokasi kegiatan (kab. Temanggung), pengkaji lebih aktif memberikan penjelasan,
sedang diluar lokasi kegiatan (kab. Karanganyar, Sukoharjo, Wonosobo dll)
petani/kelompok tani dan Instansi terkait mengundang pengkaji untuk memberi
penjelasan pengembangan ayam ini. Disamping itu beberapa petani (dari kab.
Semarang, Kendal, BPTP Riau dan Dinas Peternakan Kab. Bangli-Bali dll) dan
mahasiswa datang ke BPTP Jawa Tengah melakukan kegiatan magang dibimbing
oleh pengkaji. Diseminasi secara langsung juga dilakukan dengan ikut
berpartisipasi kegiatan ekspose skala nasioanal yaitu ekspose Soropadan
Agroekspo 2003 dan 2005 dan Ekspose Teknologi Unggulan BPTP se Indonesia
tanggal 15 Juni 2003 di BPTP Jawa Tengah.
23
Gb. 1. Partisipasi pada Soropadan Agro Exspo 2005
Diseminasi tidak langsung dilakukan dengan membuat leaflet, buku
petunjuk pemeliharaan, Komik bergambar dan CD serta publikasi di majalah dan
surat kabar. Disamping itu, diseminasi tidak langsung ini juga dilakukan atas
permintaan RRI, TVRI dan TV swasta.
Gb. 2. Komik Ayam Hibrida
24
Gb. 3. CD Perbibitan Ayam Hibrida Gb. 4. CD Pembesaran Ayam Hibrida
VIII. ADOPSI DAN KOMERSIALISASI TEKNOLOGI
Proses adopsi teknologi diawali dengan melakukan pengkajian secara
partisipatif bersama petani di Kabupaten Temanggung. Pengkaji bersama dengan
petani melakukan introdroduksi teknologi mulai dari IB, penetasan, pemeliharaan
anak ayam, dan pembuatan pakan (induk, pejantan dan anak) pada tahun 2003.
Hasil kegaitan menunjukkan bahwa selama satu tahun petani dapat melakukan
IB, membuat pakan, dan memelihara ayam dengan baik.
Gb 5. Peternak di Desa Sukomarto, Kecamatan Jumo, Kab. Temanggung Dapat
Mengadopsi Teknologi Inseminasi Buatan
25
Teknologi yang dianggap sulit oleh petani adalah penetasan telur
menggunakan mesin tetas skala kecil kapasitas 100 – 300 butir). Hal ini
disebabkan karena teknologi ini memerlukan ketekunan dan ketelitian. Masalah
yang dihadapi oleh petani adalah mengontrol suhu dan kelembaban yang
dipersyaratkan, disisi lain waktu dan tenaga yang tersedia terbatas, sehingga
hanya beberapa petani yang mampu melakukan penetasan.
Oleh karena petani sudah mampu melaksanakan IB dan menghasilkan
telur tetas serta menghasilkan anak ayam, maka peternak lain baik dari daerah
sekitar lokasi pengkajian maupun dari luar kabupaten banyak yang datang untuk
belajar dan membeli telur tetas dan anak ayam. Dampak dari kegiatan tersebut
terus berlangsung, petani dari kabupaten lain seperti Kendal, Wonosobo,
Karanganyar, Sukoharjo, Semarang dan lain-lain datang ke BPTP untuk belajar
atau magang selama 1 – 5 hari. Beberapa instansi terkait seperti Dinas
Peternakan (kab. Karanganyar, Sukoharjo) dan Perguruan Tinggi (Akademi
Peternakan Karanganyar, Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian Magelang) meminta
untuk dilakukan pelatihan di wilayah kerjanya masing-masing.
Gb. 6. Pembesaran Ayam di Desa
Sumber, kab. Wonosobo.
Gb. 7. Pembesaran Ayam di Desa
Pagergunung, Kec. Pringsurat,
Kab. Temanggung
Perkembangan adopsi teknologi sampai saat ini adalah dikembangkannya
paket teknologi ini secara partisipatif antara Dinas Pertanian dan Peternakan
Kabupaten Sukoharjo dengan petani, swasta dan dinas terkait serta BPTP Jawa
Tengah. Pengembangan ini diarahkan ke usaha komersial dengan memanfaatkan
aset proyek Rural Rearing Multiplication Center (RRMC). Pada bulan September
26
2005, telah diawali dengan pemeliharaan 800 ekor induk dan 30 pejantan.
Direncanakan pada akhir tahun ini jumlah induk akan ditingkatkan menjadi
1.200 ekor. Dengan jumlah tersebut, maka dapat memproduksi telur tetas 5.880
butir/mg atau bila ditetaskan dapat menghasilkan anak ayam 4.116 ekor/mg.
Tahun 2006 - 2008 akan ditingkatkan kapasitas produksinya dengan jumlah
induk menjadi 5000 ekor. Peningkatan usaha ini akan menuntut peningkatan
sarana usaha khususnya mesin tetas dan pabrik pakan mini.
Pengembangan APL mengalami kelesuan dengan munculnya wabah flu
burung, sehingga jalinan kerjasana dengan swasta yang akan mengembangkan
dalam skala besar menjadi terhenti. Namun pengembangan APL masih
diteruskan oleh Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Sukoharjo
bekerjasama dengan petani, rumah makan dan warung makan tradisional.
Gb. 8. Ayam ras Petelur sebagai Induk
di RRMC Sukoharjo
Gb. 9. Ayam Kampung sebagai
Pejantan di RRMC Sukoharjo.
27
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan :
1. Berdasarkan penelitian di laboratorium dapat disimpulkan, bahwa ayam
hasil persilangan antara pejantan kampung dengan betina ras petelur a)
Pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan ayam kampung (umur 60 hari
bulan bobotnya 0,85 kg, sedang ayam kampung 0,50 kg). b) Tubuh dan
karkasnya mirip ayam kampung, c) Tekstur dagingnya sama dengan
ayam kampung.
2. Uji preferensi terhadap maskan daging ayam
Dari Uji preferensi, ternyata 80 % panelis tidak dapat membedakan
masakan ayam potong lokal dengan ayam kampung.
3. Uji pasar
Uji pasar di rumah makan tradisional dan rumah makan modern
menunjukkan bahwa masakan dari ayam hasil persilangan baik dalam
bentuk segar maupun beku ternyata mempunyai kualitas yang sama
dengan masakan ayam kampung. Hasil penelitian ini mengindikasikan
bahwa ayam hasil persilangan antara ayam “kampung” dengan ayam ras
petelur sangat prospektif sebagai sumber daging unggas.
4. Pengkajian di tingkat petani
- Pada unit usaha yang memproduksi telur tetas, petani dapat
mengadopsi teklnologi IB dan manajemen pemeliharaannya. Tingkat
fertilitas telur hasil IB oleh petani sebesar 73,3-83,5 %.
- Pada unit usaha penetasan, tidak semua peternak dapat melakukan
penetasan dengan baik, terbukti hanya 3 orang dari 15 peternak yang
dapat menghasilkan daya tetas tinggi 67 – 72 %. Unit usaha
penetasan merupakan unit yang paling sulit dalam pengembangan
ayam potong lokal di lapangan. Unit ini dapat berproduksi dengan
baik setelah menggunakan mesin tetas otomatis skala besar dan
lokasinya berdekatan dengan unit produksi telur tetas.
- Unit usaha yang memproduksi ayam siap potong merupakan unti
usaha yang paling sesuai bagi peternak.
28
5. Kajian pengembangan kelembagaan
Dari kajian kelembagaan dapat disimpulkan bahwa kinerja pelakupelaku
pengembangan ayam potong lokal sangat tergantung dari
kapasitas produksi telur tetas dan anak ayam.
Saran :
1. Pengembangan ayam potong lokal pada unit produksi telur tetas dan
anak ayam sebaiknya dilakukan oleh swasta atau badan usaha milik
negara yang bekerjasama dengan peternak. Peternak/kelompok tani
dapat melaksankan unit usaha pembesaran ayam dari anak ayam/DOC
menjadi ayam siap potong.
2. Dalam pengembangan kelembagaan ayam potong lokal diperlukan
peningkatan kapasitas produksi telur tetas dan anak ayam, serta ditingkat
petani sebagi unit pembesaran ayam perlu dibantu dengan bantuan kredit
lunak khususnya untuk pengeadan pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Desroier NW. 1977. Meat Technology, Element of Food Technology. Avi Pub.
Company. Inc. Wesport, Connecticut.
Mountney GJ., Parkhurst CR. 1995. Poultry Products Technology. Third Edition.
Food Products Press, an imprint of the Haworth Poress Inc. Binghamton.
New York.
Muryanto, PS. Hardjosworo, Herman, R., dan Setijanto, H. 2002. Evaluasi karkas
ayam hasil persilangan antara ayam kampung jantan dengan ayam ras
petelur betina. Jurnal Produksi Ternak 2 : 71-76. Fakultas Peternakan
Unsoed. Purwokerto.
Muryanto, Subiharta, Yuwono DM., Dirdjopratono W. 1994. Optimalisasi
produksi telur ayam buras melalui perbaikan pakan dan tatalaksana
pemeliharaan. Jurnal Ilmiah Penelitian ternak Klepu. 2 : 9 – 14.
Muryanto, Subiharta. 1993. Penelitian sifat mengeram pada ayam buras (1.
Pengaruh perlakuan fisik terhadap lama mengeram dan aspeknya). Jurnal
Ilmiah Penelitian Ternak Klepu 1 : 1– 6.
Muryanto, T.Paryono, Ernawati, P.S. Hardjosworo, H. Setijanto dan L.S. Graha.
2004. Prospek ayam hasil persilangan ayam kampung dengan ras petelur
29
sebagai sumber daging unggas yang mirip ayam kampung. Seminar
Teknologi Pangan Hewani. UNDIP Semarang.
Muryanto, Yuwono, D.M., Subiharta, Wiloeto, D., Sugiyono, Musawati, I. dan
Hartono. 1995. Teknik inseminasi buatan pada pada penelitian ayam
buras. Sub Balitnak Klepu. Ungaran. Jawa Tengah.
Muryanto. 2002. Pertumbuhan Alometri dan Tinjauan Histologi Otot Dada pada
Ayam Kampung dan Persilangannya dengan Ayam Ras Petelur. Thesis.
Pascasarjana. IPB.
North dan Bell, 1990. Comercial Chicken Praduction Manual. Van Nostrand
Reinhold. New York.
Ockerman HW. 1983. Chemistry of Meat Tissue. Animal Science Departement.
The Ohio State University.
Prasetyo,T., Rachman Jamal, Rusmaji, Supadi dan Puji Lestari. Kajian model
kemitraan pemasaran pengembangan ayam potong lokal. Laporan
Kegiatan. BPTP Jawa Tengah.
Prawirodigdo, S., D. Pramono, Ernawati, B. Budiharto, P. Lestari, Sugiono, G.
Sejati, Prawoto, S. Iskandar dan D. Zaenudin. 2001. Pengkajian
Partisipatif Persilangan Ayam Pelung x Ayam Ras Petelur dan Ayam Lokal.
Laporan Hasil Pengkajian. BPTP Jawa Tengah.
Prawirodigdo, S., Muryanto, Sugiono, P. Lestari, Suharto dan Kuamidi. 2002.
Perbibitan Ayam Lokal. Laporan Kegiatan Pengakjian BPTP Jawa Tengah.
Siregar AP dan Sabrani M. 1972. Buku Pedoman Random Sampel Test. LPP
Bogor, Dirjen Peternakan Departemen Pertanian.
Soeparno 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press.
Sudaryanti, Maryanto, I. 1989. Komposisi karkas ayam buras pada pemeliharaan
tradisional. Proc. Seminar Nasional Tentang unggas Lokal. Fakultas
Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang.
Sutjipto MD, Sukardi, Riswantiyah, Mulyowati S. 1988. Pendugaan kandungan
nilai gizi makanan dengan menggunakan nilai gizi isi tembolok ayam lokal
di Kabupaten Banyumas. Proc. Seminar Nasional Peternakan Dan Forum
Peternak “Unggas dan Aneka” II. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Peternakan. Bogor.
Trautmann A, Fiebiger J. 1957. Fundamentals of The Histology of Domestic
Animals. Comstock Publishing Associates. A Division of Cornel University
Press. Ithaca. New York.
Utoyo DP. 2002. Status manajemen pemanfaatan dan konservasi sumberdaya
genetik ternak (Plasma Nutfah) di Indonesia. Makalah disampaikan pada
Pertemuan Komisi Nasional Plasma Nutfah, 19–20 April 2002. Jakarta.

UCAPAN TERIMA KASIH :
Ucapan terima kasih disampaikan dengan hormat kepada pihak-pihak
yang telah bekerjasama dalam penelitian dan pengembangan Ayam Potong lokal
ini, diantaranya : peneliti/pnyuluh BPTP Jateng, Kelompok-kelompok Tani Ternak
Ayam di Desa Sukomarto, Kec, Jumo, Kab. Temanggung, Bp. Warsito, Desa
Karangpandan, Kec. Karangpandan, Kab. Karangnyar, Bp. Mulyadi, Desa
Meteseh, Kab. Karanganyar, Bp. Lilik S Nugraha (PT. Toda Perkasa Semarang),
Dinas Pertanian Kab. Sukoharjo, Temanggung dan Karanganyar, Koperasi Serba
Usaha Surakarta dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar